Perdamaian senantiasa didambakan umat manusia. Akan tetapi sejarah manusia sepanjang zaman justru menunjukkan, betapa umat manusia tidak henti-hentinya berperang antar mereka.
Hingga timbul kesan, seakan-akan peperangan adalah bagian dari kebudayaan manusia.
Sejarah purba menunjukkan peperangan yang terus-menerus silih berganti. Sejarah Yunani penuh dengan peperangan.
Kisah peperangan di Troy merupakan sebuah kisah perang yang klasik.
Apa yang dinamakan Pax Romana lebih banyak ditandai oleh peperangan daripada perdamaian, karena kaisar-kaisar Roma tidak henti-hentinya meluaskan wilayah kerajaan Roma ke segenap penjuru mata angin.
Tumbuhnya kapitalisme di Eropa yang berkembang menjadi imperialisme sebelum perang dunia pertama (PD I) juga menimbulkan berbagai peperangan untuk merebut tanah jajahan dan taklukkan.
Inggris, Prancis, Belanda, Jerman, Italia, Spanyol, Portugis, Turki, dan berbagai negara lain, seperti Jepang di Asia, telah melibatkan diri dalam berbagai peperangan di semua benua di dunia ini.
Bahkan meski sudah memasuki era modern seperti hari ini, perang untuk memperebutkan pengaruh baik untuk politik atau teritorial seperti yang terjadi di Rusia dan Ukraina masih saja terjadi.
Kenyataan di atas, seakan-akan membenarkan pendapat orang yang mengatakan, bahwa peperangan merupakan budaya manusia, dan selama ada umat manusia di muka bumi, selama itu pula timbulnya peperangan dari waktu ke waktu, tidak dapat dihindari.
Tetapi apakah benar demikian? Untuk menjawab itu kiranya kita dapat sedikit melihat film tahun 2022 yang berjudul “Sniper: The White Raven”, sebuah film tentang perang antara Rusia dan Ukraina.
Film yang berdurasi 120 menit dan disutradarai oleh pembuat film asal Ukraina Marian Bushan ini diangkat berdasarkan kisah nyata yang terjadi di Ukraina.
Berbeda dengan film perang lainnya. Film ini justru menekankan tentang perjuangan seorang guru yang awalnya berideologi pasifisme berubah menjadi seorang pahlawan yang membela keluarga dan negaranya dari invansi Rusia.
Sinopsis Film
Pada tahun 2014 di kota Horlivka negara Ukraina, suatu malam seorang wanita yang sedang mengandung bernama Nastya sedang membuat ukiran malaikat dari kayu dan menyusun bebatuan yang membentuk simbol perdamaian.
Nastya tinggal di sebuah gubuk lahan kosong di sekitarnya yang di bangun oleh suaminya sendiri, yaitu Mikola seorang ahli matematika, fisika, ekologi, dan bekerja sebagai guru sekolah.
Mereka berdua menganut paham pasifisme, selain itu mereka juga hidup bersatu dengan alam dan jauh dari teknologi modern.
Akan tetapi, kedua pasangan ini berdarah Ukraina mereka sering mengalami diskriminasi dari orang-orang Rusia di sekitarnya.
Seperti sebagian murid di sekolah yang tidak menghormati Mikola dan reporter yang meliput rumah mereka menganggap kedua pasangan itu orang gila.
Semua itu terjadi akibat konflik Ukraina dan Rusia yang mulai berkecamuk dan berujung pada perang besar, seperti yang terjadi saat ini.
Meski mendapatkan diskriminasi sebagai seorang pasifisme Mikola dan Nastya tetap sabar dan menjalani hidupnya dengan damai.
Namun, saat Mikola sedang pergi untuk mengajar, dia sempat melihat dua tentara Rusia sedang berpatroli, yaitu Sery dan temannya.
Ternyata hari itu sekolah diliburkan karena konflik di kota Horlivka semakin parah.
Mikola pun bergegas langsung pulang ke rumah karena khawatir dengan kondisi istrinya.
Dan ternyata istrinya sedang dipukuli oleh tentara Rusia Sery dan temannya karena dianggap sebagai mata-mata.
Mikola yang baru datang langsung ikut dipukuli dan rumah mereka pun dibakar habis.
Ketika kedua tentara itu ingin pergi, Nastya masih berusaha melawan dengan melempar sebuah batu.
Tetapi Natsya malah ditembak mati. Mikola pun sangat terpukul atas kematian istrinya.
Sampai pada akhirnya Mikola memutuskan untuk membalaskan dendamnya kepada tentara Rusia dengan menjadi tentara Ukraina.
Berhari-hari Mikola pun ikut latihan fisik untuk bisa diangkat menjadi tentara Ukraina dan mengganti namanya menjadi Raven (burung gagak).
Sampai akhirnya dibukalah pelatihan khusus untuk menjadi seorang sniper. Dan beberapa orang yang berminat pun langsung diterima termasuk Mikola.
Awalnya Mikola tidak mengerti tentang peperangan dan persenjataan karena dia seorang pasifis yang anti perang.
Tetapi dengan kesungguhan niat Mikola akhirnya dipercaya menjadi seorang sniper dan bertugas membela Ukraina bersama teman-temannya.
Tak lama setelah diterima Mikola mendapatkan misi pertamannya untuk merebut pos perbatasan yang diduduki oleh Rusia.
Di tugas pertamanya itu Mikola berhasil menjalankannya, di misi selanjutnya Mikola bersama pasukannya melakukan aksi menaklukkan tentara Rusia di pabrik kimia.
Dalam misi tersebut, lagi-lagi Mikola berhasil mengalahkan tentara Rusia termasuk di dalamnya adalah Sery yang tak lain merupakan pembunuh dari istri Mikola.
Setelah melakukan aksinya dan menuntaskan balas dendamnya kepada Sery.
Mikola kemudian pergi berziarah ke makam sang istri, meski tujuan awalnya untuk membalaskan dendam, Mikola masih terus melanjutkan karirnya sebagai sniper demi membela negaranya Ukraina.
Ideologi Pasifisme
Sungguh sebuah film yang sangat menarik, dimana dalam film ini diawali dengan kehidupan seorang pasifisme sebuah ideologi yang mungkin jarang terdengar.
Jika film perang yang lain berangkat dari akar masalah sebuah perang.
Film ini justru memperlihatkan bahwa masih ada di dunia ini orang-orang yang menganut paham pasifisme, meski pada akhirnya harus ikut berperang demi harga diri sebuah bangsa.
Istilah pasifisme sendiri berasal dari bahasa Latin, yaitu paci, yang berarti “perdamaian” dan ficus yang berarti “membuat”.
Istilah ini pertama kali dikenalkan oleh aktivis kampanye perdamaian Prancis bernama Emile Arnaud pada akhir abad ke-19.
Menurut Stanford Encyclopedia of Philosophy, pasifisme adalah komitmen terhadap pengusahaan perdamaian.
Namun, karena banyaknya variasi makna dari istilah “perdamaian”, pasifisme didefinisikan secara sederhana sebagai “ideologi anti perang” atau komitmen “anti kekerasan” (Nugroho, 2022).
Di dunia kuno, perang dianggap sebagai kejahatan yang diperlukan oleh beberapa masyarakat, sementara di beberapa masyarakat lain perang tidak dianggap sebagai kejahatan.
Tetapi seiring berkembangnya waktu banyak dari berbagai aliran keagaman mulai menerapkan sikap hidup pasifisme salah satunya, seperti Buddhisme yang menuntut pengikutnya untuk tidak melakukan tindakan kekerasan terhadap sesama makhluk.
Sejak renaisans Eropa, konsep pasifisme telah dikembangkan ke berbagai tingkat pada tataran politik.
Banyak pemikir pasifis pada abad ke-17 dan ke-18 didasarkan pada gagasan bahwa transfer kekuasaan politik dari penguasa kepada rakyat (demokrasi) adalah langkah penting menuju perdamaian dunia, karena perang dianggap muncul dari ambisi dan kekuasaan dinasti.
Tema pasifisme semakin hari semakin menarik minat publik dan mengilhami literatur yang luas.
Beberapa ide pasifisme kemudian diwujudkan dalam bentuk-bentuk, seperti Pengadilan Arbitrase, Mahkamah Internasional di Den Haag, Liga Bangsa-Bangsa, Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta konferensi dan perjanjian pelucutan senjata, seperti Strategic Arms Limitation Talks (SALT) dan pembicaraan mengenai pengurangan senjata antara Uni Soviet dan Amerika tahun 1970-an (Britannica).
Dalam praktiknya pasifisme terbagi menjadi dua, yaitu pasifisme prinsipil dan pasifisme pragmatis.
Pasifisme prinsipil berangkat dari pemikiran bahwa konflik, kekerasan, penggunaan senjata mematikan, dan perang dalam segala bentuknya, merupakan tindakan yang secara moral salah dan tidak dibenarkan.
Sedangkan pasifisme pragmatis berpandangan bahwa konflik adalah pilihan terburuk dalam menyelesaikan perselisihan, karena lebih banyak kerugian yang ditimbulkan (Hendroy).
Dalam cerita film di atas, nampaknya Mikola termasuk golongan pasifisme yang pragmatis meski awalnya Mikola dan istrinya menolak perang.
Tetapi keadaan negaranya menuntut dia untuk menjadi seorang pasifis pragmatis.
Meski berat, tetapi itulah keadaan yang harus dijalani oleh seorang Mikola.
Hal ini juga menjelaskan pertanyaan di awal tulisan ini, “apakah benar peperangan memang budaya manusia?”, jawabannya tidak.
Sebab melalui film ini kita dapat mengetahui bahwa masih banyak orang-orang di dunia ini yang cinta akan perdamaian dan budaya damai.
Adapun pada akhirnya mereka harus terbawa pada suatu konflik atau peperangan itu bukan karena keinginan dirinya, tetapi kondisi atau sistem sebuah negara yang menuntut orang menjadi pelaku kekerasan.
Jauh sebelum Mikola yang menjadi peran utama film ini, ada banyak tokoh pasifisme, seperti Mahatma Gandhi dengan aksi non-kekerasannya dan Woodrow Wilson merupakan presiden Amerika Serikat ke-28, sekaligus tokoh yang mendirikan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) pada 10 Januari 1920 yang berguna untuk menjaga perdamaian dunia.
Daftar Referensi
Britannica. (n.d.). Pasifisme (Filsafat Politik). Retrieved from Encyclopedia Britannica.
Hendroy, F. A. (n.d.). Pasifisme Sebagai Jalan Hidup. Retrieved from Aliansi Indonesia Damai.
Nugroho, R. (2022). Foreign Policy (Politik dan Kebijakan). Jakarta: Elex Media Komputindo.