Kritik Sosial dalam Naskah Drama “Matahari di Sebuah Jalan Kecil”

Titin Tohiroh

Kritik Sosial dalam Naskah Drama "Matahari di Sebuah Jalan Kecil"

Karya sastra merupakan buah pikiran dari seorang sastrawan. Selain sebagai hasil imajinasi, tidak jarang sebuah karya sastra merupakan akibat pengaruh dari lingkungan sekitar sastrawan tersebut. Lingkungan sekitar bisa berupa keadaan sosial, ekonomi, politik, budaya, dan sebagainya. Salah satu jenis sastra yaitu juga memperlihatkan hal tersebut. Hasanuddin WS dalam bukunya Drama Karya Dalam Dua Dimensi (Kajian, Teori, Sejarah dan Analisis) (2021: 9) mengungkapkan bahwa drama sebagai suatu karya sastra tidak tercipta tanpa adanya proses kreatif dari pengarang, serta aspek ekstrinsik yang senantiasa berpengaruh pada pembuatan karya sastra tersebut.

Di antara sastrawan Indonesia yang juga menghasilkan karya sastra berbentuk naskah drama ialah Arifin C. Noer. Sastrawan yang juga merupakan dramawan Indonesia ini sudah banyak melahirkan karya-karya berupa naskah drama. Tidak jarang naskahnya tersebut dipentaskan oleh berbagai teater. Naskah drama karya Arifin C. Noer banyak mengangkat mengenai realitas kehidupan kalangan bawah. Taufiq Ismail sebagaimana dikutip dari Tribun News mengatakan bahwa Arifin C. Noer ialah sastrawan pembela kaum miskin. Pendapat Taufiq Ismail tersebut berdasar pada karya-karya Arifin C. Noer yang memang banyak membahas perihal kondisi masyarakat kalangan bawah, kompak dengan protes-protes sosial yang tersaji.

Salah satu naskah dramanya yang berjudul “Matahari di Sebuah Jalan Kecil” merupakan salah satu wujud dari pemikirannya tentang realitas kehidupan pada tahun 60-an. Naskah drama tersebut bercerita tentang para pekerja sebuah pabrik es tua yang terletak di pinggir jalan kecil. Terdapat beberapa tokoh, yaitu Penjaga Malam, Si Pendek, Si Tua, Si Peci, Si Kacamata, Si Kurus, Si Sopir, Simbok, Pemuda, dan Perempuan. Cerita ini bermula ketika Simbok menjajakan makanannya di depan pabrik es tersebut, dan seperti hari-hari biasanya para pekerja akan membeli makanan dari Simbok. dimunculkan ketika para pekerja tersebut tengah mengobrol di waktu istrirahat dan makan. Berbagai keluh dan protes pun keluar dari mulut para pekerja tersebut. Puncak permasalahan terjadi ketika ada Pemuda yang membeli dan memakan makanan dari Simbok, tapi ia menipu dan tidak membayar.

Dalam naskah tersebut terdapat kritik-kritik sosial yang relevan dengan keadaan pada masa itu yang dikenal sebagai masa Orde Baru. Kritik sosial dapat diartikan sebagai suatu kritikan atau pun sindiran terhadap kondisi sosial yang dinilai melenceng dari norma-norma yang ada pada masyarakat. Berikut beberapa kritik sosial yang dimunculkan dalam naskah drama “”.

1. Kritik Masalah Kemiskinan

Seperti yang kita tahu, kemiskinan sudah sejak lama menjadi permasalahan penting bagi negara ini. Bahkan di beberapa negara lain, masalah kemiskinan juga menjadi masalah utama yang masih perlu penanganan. Dalam naskah drama ini, kritik terhadap masalah kemiskinan disampaikan dalam wujud dialog antara para pekerja pabrik yang mengeluhkan harga pangan dan harga beras yang naik, tetapi gaji pekerja tidak naik. Berikut kutipan dialognya:

SI KACAMATA

Kemarin sore istriku berbelanja ke warung nyonya pungut. Pulang-pulang ia menghempaskan nafasnya yang kesal……. Harga beras naik lagi, katanya.

SI PECI

Apa yang tidak naik?

SI TUA

Semua naik.

SI KURUS

Gaji kita tidak naik.

Kritik terhadap masalah kemiskinan dalam naskah drama ini, sesuai dengan permasalahan yang terjadi ketika masa Orde Baru, yaitu harga kebutuhan pokok naik. Dikutip dari Kompas.com, pada buku Di Masa Orde Baru (1997) karya A.H Nasution, masyarakat merasa pada saat itu harga kebutuhan pokok sudah mulai tinggi, seperti beras, terigu, minyak goreng, minyak tanah, gula, susu, telur, ikan kering, dan garam. Dialog di atas sebagai bentuk gambaran, bagaimana kondisi ekonomi masyarakat Indonesia pada masa itu.

2. Kritik Masalah Kejahatan

Kritik terhadap masalah kejahatan dalam naskah ini menyindir perihal korupsi, dan orang-orang yang mencuri atau menipu. Berikut kutipan dialognya:

SI KURUS

Tapi kalau masih ada korupsi? Anak kita akan tetap hanya kebagian debu-debunya saja dari motor yang lewat di jalan raya.

SI PECI

Ya.

SI KACAMATA

Ya.

SI TUA

Ya, sekarang kejahatan merajalela.

SI KURUS

Semua orang bagai diajar mencuri dan menipu.

Korupsi yang juga merupakan masalah di negeri ini disindir oleh pengarang dalam naskah drama tersebut. Korupsi yang merugikan rakyat, juga menjadi fokus utama yang ingin ditonjolkan pengarang sebagai bentuk protes dan pembelaan terhadap kalangan bawah. Permasalahan korupsi yang terdapat dalam dialog di atas juga menggambarkan situasi Indonesia pada masa Orde Baru.

3. Kritik Masalah Generasi Muda

Generasi muda adalah penerus suatu bangsa. Untuk itu, permasalahan yang menyangkut generasi muda menjadi sesuatu yang penting untuk dikemukakan. Seperti dalam naskah drama ini, perlakuan tokoh yang bernama Pemuda, telah membuat para pekerja pabrik geram. Sehingga menciptakan kritik, dan juga menyindir generasi muda lewat dialog yang disampaikan Si Kurus. Berikut kutipan dialognya:

SI KURUS

Puh! Pembohong. Tampangku saja sudah mirip bajingan. Pintar kau ngoceh ya? Saya adalah orang yang paling benci pada ketidakjujuran, saya muak. Saya menyesal sekali melihat penipu semuda kau. Tapi saya terlanjur muak. Saya benci, kau tahu? Gaji saya sedikit, tapi saya tak mau menipu atau mencuri. Ya, tentu saja kau semakin kurus, sebab benar kata Joyoboyo, yang pinter keblinger yang jujur mujur. Sekarang baiklah, bayar atau tidak? Ya memang sedikit uang delapan puluh rupiah, tapi bagi saya kejahatan tetap kejahatan, dan saya benci serta menyesal, yang melakukan perbuatan hina itu adalah manusia bukan anjing. Dan lebih menyesal lagi kalau yang melakukan kerja nista itu adalah bakal dan calon orang, yaitu kamu, PEMUDA. Nah, bayar atau tidak? Terus terang.

Dialog tersebut dapat dimaknai sebagai sindiran terhadap generasi muda, agar selalu berlaku jujur. Sekaligus sebagai nasihat, bahwa sebagai penerus bangsa, generasi muda harus memiliki sifat jujur. Karena dari penanaman sifat jujur tersebut, di masa depan akan berdampak baik bagi kehidupannya, dan juga negaranya.

4. Kritik Masalah Hukum (Birokrasi)

Dalam naskah drama ini secara tersirat mengkritik mengenai ketegasan hukum, yang bisa dibilang sudah tidak berjalan seperti seharusnya. Digambarkan dalam naskah, tokoh Pemuda yang menipu dibela oleh tokoh Perempuan yang hendak membayar uang yang tidak bisa dibayar Pemuda itu. Sehingga keluarlah tanggapan dari Si Kurus yang mengkritik perilaku Perempuan tersebut. Berikut kutipan dialognya:

SI KURUS

Nanti dulu, Mbakyu. Mbakyu bilang kasihan padanya, sehingga mendorong rasa kasihan Mbakyu untuk membayarnya. Tidak, tidak, saya tidak tersinggung. Sayapun memang kalau delapan puluh itu sedikit dan saya juga dapat atau siapa saja masih mampu memberi, tapi bukan itu soalnya. Kalau Mbakyu kasihan padanya sama seperti Mbakyu membantu melahirkan seorang bandit di tanah kewalian ini. Saya juga maklum, apa yang Mbakyu lakukan itu mulia, tapi hal yang mulia juga minta tempat dan saat yang tepat. Dan sekarang saat tidak minta yang sejenis itu. Apa yang kami lakukan sekarang adalah  juga kemuliaan, meskipun menampakkan kekerasan dan penghinaan, tetapi ia juga bersama kemuliaan yang diridhoi Tuhan. Dan jangan lupa saya dan teman-teman di sini atau siapa saja juga mampu kalau berniat memberi anak pemuda ini uang seratus rupiah, tetapi bukan itu soalnya.

Dalam dialog tersebut, ada pesan tersirat yang seolah mengungkapkan perihal hukum yang terkadang tidak bisa tegas terhadap orang yang bersalah. Tokoh dalam naskah tersebut yaitu Pemuda sebagai penipu, seperti menggambarkan para penipu negara (koruptor) yang terkadang masih mendapat rasa kasihan dari hukum yang seharusnya memberikan sanksi tegas. Kondisi tersebut juga terjadi di Indonesia pada masa Orde Baru. Permasalahan terjadi pada bidang politik dan hukum. Ketidakadilan yang terjadi banyak menuai kritik dari berbagai kalangan. Salah satunya, sastrawan, yang tidak luput menuangkan kritiknya dalam bentuk karya sastra.

Kritik sosial yang sesuai dengan kondisi Indonesia pada masa Orde Baru, menunjukkan bahwa karya sastra tidak dapat terlepas dari waktu, serta peristiwa yang terjadi pada zamannya. Namun, bukan hanya relevan dengan masa Orde Baru, naskah drama ini juga memberi pesan tersirat bagi generasi muda agar berperilaku jujur walau dari hal yang terkecil sekali pun. Dari beberapa kritik sosial yang dipaparkan di atas, kita bisa melihat bahwa karya sastra — dalam  hal ini naskah drama — tidak hanya sebagai tulisan atau teks sastra saja. Tapi, di dalamnya banyak tersirat pemikiran sastrawan tentang kehidupan di sekitarnya. Kritik atau pun sindiran yang mungkin tidak bisa disampaikan secara lisan, melalui media tulis atau teks sastra maka hal tersebut bisa tersampaikan. 

Follow Digstraksi di Google News

Baca Juga

Rekomendasi