Malam itu, Rabu 16 Desember, tepat pukul 23:03 WIB, saya mulai menulis dengan ditemani lagu-lagu Nirvana di album Nevermind yang saya putar melalui Spotify. Dimulai dari On A Play, Come As Your Are, dalam teguk kopi dingin saya duduk menikmati malam itu sambil menuliskan apapun tentang rasa bosan yang saya rasakan. Hal ini saya lakukan dalam rangka bersembunyi sejenak dari hiruk-pikuk kehidupan sosial-politik, yang persoalannya makin hari begitu memuakkan dan sukses mengaduk-ngaduk emosi saya. Mulai dari Covid, Korupsi, Omnibus Law, Kerusakan Ekologi, Kekerasan Seksual, Dinasti Politik, Militerisme, Konflik Agraria, yang semuanya dibungkus dengan drama-drama politik yang memperlihatkan betapa macetnya iklim demokrasi dan penegakan hukum di negri ini. Poin-poin yang saya sebutkan itu hanya beberapa saja, dan sebenarnya masih banyak lagi. Ah, membosankan!!
Tapi saya pikir lagu Nirvana adalah pilihan yang tepat. Sebab lirik dan musiknya selalu punya tempat untuk mereka yang sedang kesal dan marah pada dunia ini. Benar saja, sesampai di lagu Something In The Way, saya merasakan suasana menjadi begitu kelam namun indah. Jantung saya berdebar-debar, lalu pelan-pelan suara Kurt Cobain yang serak diam-diam menyelinap kedalam setiap pori-pori. Seolah alunan itu berbisik dan mengatakan bahwa hidup ini sungguh tidak bisa dimengerti, namun dengan seni dan kebebasan kita bisa menikmati segala jenis kebingungan. Apa, iya?
Tak lama, lagu itu segera berakhir, dan langsung disambut lagu Territorial Pissing yang keras namun begitu asyik. Kepala saya tidak bisa berhenti bergoyang. Segala suntuk melompat dan meledak keluar membanjiri wajah politikus busuk yang nampang tiap hari di timeline media sosial. Lagu itu berhasil membuat saya ikut terhentak sambil mengikuti Kurt Cobain bernyanyi dengan teriakan “Come on people now, smile on your brother and everybody get together, try to love one another right now”. Pekikan suara gitar penuh distorsi dan lirik yang sinis juga optimis seperti mengajak saya untuk mencari jalan dan cara yang lebih baik. Saya merasakan segala sesak terkubur dalam lapisan melodi dan suara yang keras hasil perkawinan musik punk dan metal itu. Nada yang menghasilkan noise rock yang mentah dan terdistorsi dengan sempurna bagi saya tidaklah menjadi bising, namun begitu harmonis bergerak mencampuri aliran darah saya.
Jujur saja, saya merasakan kepuasan yang begitu luar biasa. Musik itu sungguh ajaib, mendengarkannya saja membuat segala macam dimensi dalam diri terbuka, dan segala emosi berkecamuk segera ikut meluncur keluar. Sungguh, ini adalah pengalaman mosing luar biasa dalam kesunyian malam. Barangkali, melalui karyanya, begitulah cara Kurt Cobain dan kawan-kawannya marah kepada dunia yang membingungkan ini. Dunia yang selalu melihat orang lain sebagai bukan manusia yang layak dihargai dan dimanusiakan. Sebuah dunia, yang sudah dikangkangi oleh bagundal-bagundal penguasa yang sibuk menimbun kesenangan bagi kehidupannya sendiri. Sehingga lupa pada kehidupan masyarakat yang setiap harinya dibanjiri ketakutan dan kecemasan.
Agaknya tidaklah berlebihan jika kebanyakan penggemar musik mengatakan bahwa grunge bukan hanya berarti gembel, kumuh dan dekil. Grunge sudah menjelma sebagai sebuah pengetahuan bahkan filosofi akan kehidupan. Grunge tampil untuk meluapkan empati, kecerdasan, cinta, hasrat, dan wadah bagi segala frustasi dan kemarahan anak-anak muda akan busuknya kehidupan ini. Ia menjadi ekspresi individu layaknya lukisan ekspresionisme yang menekankan ungkapan dalam jiwa yang keluar dari apa yang seniman rasakan akan diri dan kehidupannya.
Untuk sedikit menyegarkan ingatan, sebenarnya band grunge tidak hanya Nirvana saja. Awalnya, aliran ini mulai menjamur di Lokal Seattle sekitar pertengahan ’80-an. Menurut sejarah, momen itu ditandai dengan hadirnya album kompilasi yang diberi nama Deep Six. Sebuah album kompilasi dari enam band lokal; mulai dari Green River, Soundgarden, Melvins, Malfunkshun, Skin Yard, dan The U-Men, pada 1986. Setelahnya ada juga Pearl Jam, Alice in Chains dan masih banyak lagi.
Namun tidak bisa dipungkiri, kehadiran Nirvana sukses membuat grunge menjalar layaknya virus keseatero dunia. Ia menjadi konsumsi global, dan menjadi gaya hidup yang banyak diikuti oleh anak muda kala itu. Momen itu sukses menjadikan sang vokalis Kurt Cobain seolah menjadi ikon musik grunge, terlebih setelah kematiannya yang tragis pada awal april 1994. Semenjak itu, Kurt Cobain selalu hidup dan dikenang, dan selalu menjadi obrolan media-media hingga sekarang. Saya membayangkan, jika Kurt Cobain hidup lagi, dan menyaksikan ketenarannya terus menjadi besar setelah kematiannya, apakah ia akan bunuh diri lagi hingga menjadi dua kali? Memangnya apa yang aneh dengan mati berkali-kali?
Bukankah seringkali manusia hidup dalam begitu banyak topeng. Manusia menjadi begitu hipokrit sehingga ia hampir tidak bisa mengenali dirinya sendiri. Ia hidup dengan berpindah-pindah, mencari, menjadi yang lain, membunuh yang sudah ada, dan berpindah tempat lagi menjadi yang lain. Ia memasuki tubuh dari luar, dan di dalam tubuh itu ia terpenjara. Seolah hidup itu sebuah kejahatan, dan kematian menjadi entitas yang mewujudkan kebebasan, dimana orang akan kembali dibangkitkan kepada kesejatian untuk kembali menjalani kekacauan. Ah, malah ngelantur!!
Jam sudah menunjukkan pukul 03:08 dini hari, tepat pada lantunan lagu Polly. Saya merasa belum puas untuk meluapkan gejolak emosi yang saya rasakan. Rasanya tidak cukup dengan lagunya, bersama iringan musiknya, saya jadi teringat sebuah pameran seni rupa di Seattle pada tahun 2017. Tentu saya tidak menghadiri, namun hanya melihat reportase saja. Sebab pameran lukisan Kurt Cobain cukup ramai diberitakan media internasional maupun lokal kala itu. Bagaimana tidak, sebab karya yang dipajang itu adalah coretan tangan sang legenda grunge, Kurt Cobain. Bagaimana tidak heboh?
Kabarnya, ajang Seattle Art Fair yang digelar sejak awal Agustus 2017 itu nyaris menghimpun 100 galeri dari 10 negara yang membawa koleksi lukisan masing-masing untuk dijual di pasar seni terkemuka Amerika Serikat. Namun, koleksi Kurt Cobain katanya tidak diperjualbelikan. Karya-karya Kurt Cobain hanya dipamerkan begitu saja, namun cukup sukses memberi sudut pandang baru tentang seorang legenda yang dalam karyanya mampu menyentuh pengalaman kedalaman sambil memberi kesan magis pada penikmat.
Yayasan Seni Rupa United Talent Agency (UTA) sukses mendapatkan karya visual Cobain dari peninggalan pribadi musisi legendaris itu melalui tangan John Roth sebagai direktur yayasan. Roth berhasil memperoleh izin keluarga untuk membongkar peninggalan Cobain yang tersimpan dalam sebuah gudang di suatu tempat di Los Angeles. Beberapa karya yang ditemukan berupa draft awal lirik Smells Like Teen Spirit yang berupa surat cinta pada Courtney Love. Juga ada Komik, dan sebuah karya kolaborasi bersama penulis William S. Burroughs. Pada karya ini Kurt Cobain menyumbangkan ilustrasi empat lubang peluru di sana. Ada juga dua lukisan yang menurut saya paling bagus dan lumayan aneh namun indah secara estetika. Lukisan untuk ilustrasi album Incesticide dan Lukisan itu tampak menggambarkan semacam sosok makhluk amfibi humanoid yang kondisinya begitu suram duduk di depan latar belakang berwarna kuning yang berjudul ‘Fistula’.
Saya tidak begitu mengerti apa maksud dari lukisannya, namun saya bisa merasakan luapan emosi Cobain dalam setiap coretan dan pilihan warna dalam komposisi lukisannya. Seolah Kurt Cobain ingin mengatakan bahwa lukisannya juga berarti sebuah nada dan lirik kemuakan akan hidup yang jungkir-balik ini. Ia adalah wadah bagi segala ekspresi individu untuk merenungi lesunya kehidupan. Sebelum mencoba untuk tidur, sebelum lagu penutup Where Did You Sleep Last Night berakhir, melalui tulisan ini saya ingin mengajak teman-teman merasakan lagu dan beberapa goresan tangan Kurt Cobain sekali lagi.