PASCA Kerajaan Mataram Islam, berdirilah Kasunanan Kartasura pada tahun 1680 M. Menurut keterangan dari Babad Tanah Jawa, bahwa berdirinya Kasunanan Kartasura dapat dilacak mulai sebelum mangkatnya Amangkurat Agung di Desa Pasiraman (1677 M) hingga penangkapan (26 Desember 1679 M) serta penjatuhan hukuman mati (2 Januari 1680 M) kepada Trunajaya yang dilakukan oleh Raden Mas Rahmat (Amangkurat II).
Pada era Kasunanan Kartasura yakni sejak pemerintahan Raden Mas Sutikna atau Amangkurat III (1702-1705 M) hingga era Kasunanan Surakarta semasa pemerintahan Raden Mas Prabasuyasa atau Pakubuwana II (1745-1749 M) diwarnai dengan berbagai intrik politik dari kalangan trah Mataram sendiri, hingga timbullah Perang Suksesi Jawa I, II, dan III.
Perang Suksesi Perang Jawa I
Pada tahun 1704 M, dukungan dari berbagai pihak yang menghendaki Pangeran Puger (Pakubuwana I) sebagai raja di Kasunanan Kartasura semakin deras mengalir. Akibatnya, Amangkurat III (Putra Raden Mas Rahmat/Amangkurat II) menghendaki kematian Pangeran Puger. Namun sebelum tujuan Amangkurat III kesampaian, Pangeran Puger telah meninggalkan Kasunanan Kartasura. Melarikan diri ke Semarang.
Di Semarang itulah, Pangeran Puger meminta dukungan kepada VOC untuk menjadi raja di Kasunanan Kartasura. VOC mengabulkan permintaan Pangeran Puger. Melalui dukungan VOC dan Pangeran Arya Mataram, Pangeran Puger beserta pasukan yang dihimpunnya menyerbu Kasunanan Kartasura. Pecahlah kemudian Perang Suksesi Jawa I antara Amangkurat III dan Pangeran Puger pada tahun 1704-1708 M.
Empat tahun lamanya Perang Suksesi Jawa I antara kubu Pangeran Puger dan kubu Amangkurat III berlangsung. Tidak sedikit para prajurit rucah dari kedua belah pihak menjadi korban atas ambisi Amangkurat III untuk mempertahankan takhta kekuasaannya, serta ambisi Pangeran Puger untuk menggulingkan takhta kekuasaan kemenakannya itu hingga menjabat sebagai raja di Kasunanan Kartasura.
Karena semakin lama semakin terdesak, pasukan Amangkurat III melarikan diri ke Ponorogo. Dalam pelariannya itu, Amangkurat III membawa seluruh pusaka keraton Kasunanan Kartasura. Di Ponorogo, Amangkurat III menganiaya Adipati Martawangsa. Karena sesembahannya disakiti, orang-orang Ponorogo menyerang Amangkurat III. Karena terdesak, Amangkurat III dan pasukannya melarikan diri ke Madiun. Meminta bantuan pada Untung Surapati.
Sesudah mendapatkan bantuan pasukan dari Untung Surapati, Amangkurat III bergerak menuju Kediri. Karena terus diburu oleh pasukan gabungan Kartasura, Surabaya, Madura, dan VOC; Amangkurat III meninggalkan Kediri menuju Pasuruhan pada tahun 1706 M.
Di Desa Bangil, terjadilah pertempuran sengit antara kubu Amangkurat III dengan kubu Pangeran Puger. Di dalam pertempuran itu, Untung Surapati yang melindungi Amangkurat III tewas di tangan pasukan Pangeran Puger. Sesudah Untung Surapati tewas, Amangkurat III beserta pasukannya melarikan diri Ke Malang. Dari Malang, Amangkurat III yang telah menderita sakit itu melarikan diri ke Blitar. Dari Blitar, Amangkurat III melarikan diri ke Kadiri. Dari Kadiri Amangkurat III melarikan diri ke Surabaya. Di Surabaya itulah, Amangkurat III menyerahkan diri pada pasukan Pangeran Puger.
Oleh VOC, Amangkurat III yang bersikukuh untuk tidak menyerahkan seluruh pusaka Kasunanan Kartasura kepada Pangeran Blitar (putra Pangeran Puger) dibawa ke Batavia. Dari Batavia, Amangkurat III dipindahkan oleh VOC ke Srilanka. Di negeri itu, Amangkurat III meninggal dunia pada tahun 1734 M.
Melihat realitas bahwa seluruh pusaka Kasunanan Kartasura telah dibawa oleh Amangkurat III ke Srilanka, Pangeran Puger yang kemudian menjabat sebagai raja dengan gelar Sri Susuhunan Pakubuwana I mengumumkan pada seluruh rakyatnya bahwa pusaka tanah Jawa yang sejati adalah Masjid Agung dan makam Sunan Kalijaga di Kadilangu.
Perang Suksesi Jawa II
Sebagaimana masa pemerintahan Amangkurat III, masa pemerintahan Sri Susuhunan Prabu Amangkurat Jawa (Amangkurat IV atau Raden Mas Suryaputra) di Kasunanan Kartasura diwarnai dengan sejumlah pemberontakan. Bahkan pemberontakan demi pemberontakan di masa pemerintahan Amangkurat IV tersebut berujung pada Perang Suksesi Jawa II. Perang yang disebabkan oleh pemberontakan dari Arya Dipanagara, Arya Mataram, Pangeran Blitar, serta Pangeran Purbaya (1719-1723 M) terhadap kekuasaan Amangkurat IV.
Pemberontakan Arya Dipanagara
Pada tahun 1917 M, Arya Dipanagara mendapatkan tugas dari Pakubuwana I untuk memadamkan pemberontakan Jaya Puspita. Akan tetapi, sesudah mendengar kabar tentang kemangkatan Pakubuwana I dan pengangkatan Raden Mas Suryaputra (Amangkurat IV) sebagai raja di Kasunanan Kartasura, Arya Dipanagara tidak menunaikan tugasnya untuk menangkap Jaya Puspita. Sebaliknya, Arya Dipanagara yang kemudian menobatkan diri sebagai raja di Madiun bergelar Panembahan Herucakra tersebut justru bergabung dengan gerakan Jaya Puspita yang bermarkas di Majakerta untuk memberontak pada Kasunanan Kartasura.
Keberpihakan Jaya Puspita pada Arya Dipanagara berangsur-angsur memudar manakala mendapatkan pengaruh dari Pangeran Blitar (Ibnu Mustafa Pakubuwana). Sebagai gantinya, Jaya Puspita beserta Panji Surenggana dan pasukannya dari Majakerta berpihak pada Pangeran Blitar yang telah menobatkan diri sebagai raja di Mataram Kartasekar dengan pusat pemerintahan di Kerta tersebut untuk menggulingkan kekuasaan Arya Dipanagara di Madiun.
Karena terdesak dan kalah saat menghadapi pasukan gabungan Mataram Kartasekar dan Majakerta, Arya Dipanagara yang meninggalkan Madiun tersebut melarikan diri ke Baturetna. Di Baturetna, Arya Dipanagara dikejar-kejar oleh orang-orang Amangkurat IV. Arkian, Arya Dipanagara menyerah pada Pangeran Blitar dan bergabung untuk memberontak pada Kasunanan Kartasura.
Pada tahun 1721, Mataram Kartasekar dapat dihancurkan oleh Amangkurat IV yang bekerjasama dengan VOC. Akibatnya, Arya Dipanagara yang turut melarikan diri bersama pasukan Pangeran Blitar hingga Malang tersebut dapat ditangkap oleh VOC dan dibuang ke Tanjung Harapan.
Pemberontakan Pangeran Blitar
Sebagaimana Arya Dipanagara, Pangeran Blitar melakukan pemberontakan atas kekuasaan Amangkurat IV di Kasunanan Kartasura. Karena kalah kuat, Pangeran Blitar menyingkir ke Kerta (Mataram Kartasekar). Sesudah berhasil merangkul Jaya Puspita, Panji Surenggana, Arya Dipanagara, dan keturunan Untung Surapati; Pangeran Blitar (Ibnu Mustafa Paku Buwana) kembali mengobarkan api pemberontakan terhadap kekuasaan Amangkurat IV di Kasunanan Kartasura. Namun pemberontakan yang dilakukan oleh Pangeran Blitar dapat dihancurkan oleh Amangkurat IV yang bekerjasama dengan VOC.
Akibat dari hancurnya pasukan Mataram Kartasekar tersebut, Pangeran Blitar yang terserang wabah penyakit sewaktu melarikan diri ke Malang tersebut meninggal dunia pada tahun 1721 M. Panji Surenggana dan keturunan Untung Surapati dibuang ke Srilanka. Sementara Jaya Puspita tidak diketahui rimbanya. Pengertian lain, apakah Jaya Pusputa selamat atau tewas di dalam peristiwa tersebut tidak ada catatan sejarah yang menyebutkan secara jelas.
Pemberontakan Pangeran Purbaya
Tidak hanya Arya Dipanagara dan Pangeran Blitar, Pangeran Purbaya pula melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan Amangkurat IV. Sebagaimana Pangeran Blitar, Pangeran Purbaya yang merasa masih lemah untuk menghadapi pasukan Amangkurat IV menyingkir ke Lamongan.
Sesudah berhasil menghimpun kekuatan, Pangeran Purbaya memberontak terhadap kekuasaan Amangkurat IV. Akibatnya pecahlah perang perebutan kekuasaan yang dikenal dengan Perang Suksesi Jawa II antara Amangkurat IV dan Pangeran Purbaya itu pada tahun 1723 M. Dalam perang saudara tersebut, Pangeran Purbaya dapat ditaklukkan dan dibuang oleh VOC ke Batavia.
Pemberontakan Arya Mataram
Arya Mataram adalah adik Pakubuwana I yang semula turut mendukung melakukan pemberontakan atas kekuasaan Amangkurat III. Karena hasratnya ingin merdeka, Arya Mataram meninggalkan Kasunanan Kartasura. Setiba di Pati, Arya Mataram menobatkan diri sebagai raja.
Berita tentang Arya Mataram membelot dari kekuasaan Kasunanan Kartasura dan menjadi raja di Pati terdengar oleh Amangkurat IV. Karenanya, penguasa Kasunanan Kartasura itu meminta bantuan pada VOC untuk menangkap Arya Mataram. Sesudah tertangkap, Arya Mataram dijatuhi hukuman gantung.
Perang Suksesi Jawa III
Meninggalnya Amangkurat IV memaksa Raden Mas Prabasuyasa (Pakubuwana II) yang masih berumur 15 tahun itu naik takhta sebagai raja di Kasunanan Kartasura. Karena usia Pakubuwana II masih terbilang sangat muda belia, maka beberapa pihak dari kalangan istana ingin menguasainya. Hal buruk lainnya yang terjadi di masa awal pemerintahan Pakubuwana II adalah timbulnya 3 kelompok utama untuk saling bersaing di lingkup istana Kasunanan Kartasura. Adapun ketiga kelompok yang saling bersaing untuk menguasai Raden Mas Prabasuyasa tersebut, antara lain: 1) Kelompok pertama adalah kelompok pro-VOC yang dipelopori oleh Ratu Amangkurat (ibu suri); 2) Kelompok kedua adalah kelompok yang dipelopori oleh Patih Cakrajaya atau yang dikenal dengan Patih Sindureja; dan 3) Kelompok ketiga adalah kelompok yang dipelopori oleh Arya Mangkunagara.
Bermula dari timbulnya tiga kelompok untuk saling bersaing di dalam lingkungan istana tersebut bukannya membuat pemerintahan Pakubuwana II berjalan secara kondusif, namun menyebabkan berbagai persoalan yang ingin saling menjatuhkan antara kelompok satu dengan kelompok lainnya. Sebagai misal: Patih Cakrajaya yang tidak menyukai Arya Mangkunagara itu membuat jebakan agar Arya Mangkunagara seolah berselingkuh dengan istri Pakubuwana II. Dari fitnah yang dilakukan oleh Patih Cakrajaya itu, Pakubuwana II dengan melalui tangan VOC menangkap Arya Mangkunagara dan membuangnya ke Srilanka. Dari Srilanka, Arya Mangkunagara dibuang ke Tanjung Harapan.
Pada tahun 1732 M, hubungan antara Patih Cakrajaya dengan Pakubuwana II berujung perselisihan. Dari perselisihan itu, Pakubuwana II dengan melalui tangan VOC membuang Patih Cakrajaya. Sebagai pengganti patih di Kasunanan Kartasura, Pakubuwana II mengangkat Natakusuma yang juga terbilang sebagai anti VOC. Kelak atau tepatnya pada bulan Juni 1742 M, Patih Natakusuma juga dibuang oleh Pakubuwana II dengan melalui tangan VOC.
Hubungan antara Pakubuwana II dan VOC yang semula tampak dinamis berangsur-angsur menunjukkan keretakannya. Pada saat itulah, Pakubuwana II didesak oleh kelompok anti-VOC untuk membantu pemberontakan yang dilakukan orang-orang Cina terhadap VOC. Suatu pemberontakan yang dipicu oleh peristiwa pembantaian warga Cina oleh masyarakat Eropa di Batavia.
Karena tidak ada pilihan lain, Pakubuwana II menyanggupi permintaan dari kelompok anti-VOC tersebut untuk mendukung pemberontakan Cina terhadap VOC. Salah satu bentuk dukungan dari Pakubuwana II yakni diwujudkan dengan mengirim 20.000 prajurit guna membantu membasmi garnesun VOC di Kartasura pada Juli 1714 M, serta mengepung kantor VOC yang berada di Semarang.
Terhadap sikap politis dari Pakubuwana II itu, VOC yang merangkul Adipati Cakraningrat IV dari Madura barat meresponsnya dengan memukul mundur kelompok anti-VOC dan prajurit-prajurit Kasunanan Kartasura. Karena kekalahan itu, Pakubuwana II bersedia menandatangani surat perjanjian perdamaian dengan VOC pada bulan Maret 1742 M.
Menyaksikan sikap politis Pakubuwana II yang angin-anginan itu, kelompok anti-VOC sangat kecewa. Karenanya, mereka bersepakat untuk mengangkat Mas Garendi sebagai pemimpin gerakan tersebut. Oleh kelompok anti-VOC, Mas Garendi yang masih merupakan cucu dari Amangkurat III itu dijuluki sebagai Sunan Kuning. Artinya pemimpin dari orang-orang Cina yang berkulit kuning.
Tepatnya pada bulan Juni 1742 M, kelompok anti-VOC yang dipimpin oleh Sunan Kuning dan mendapatkan dukungan dari Raden Mas Said menyerbu Istana Kasunanan Kartasura. Karena istana telah luluh-lantak, Pakubuwana II dan Von Hohendorf yang tidak berdaya menghadapi para pemberontak itu melarikan diri ke Ponorogo. Peristiwa besar yang mengakibatkan hancurnya Istana Kasunanan Kartasura tersebut kelak dikenal dengan Geger Pecinan. Huru-hara yang diakibatkan oleh pemberontakan orang-orang Cina terhadap VOC.
Masih pada tahun 1742 M, VOC yang tidak berdaya menghadapi pemberontakan orang-orang Cina itu melakukan serangan balik. Kali ini, VOC yang mendapatkan dukungan dari Adipati Cakraningrat IV dapat memporak-porandakan pemberontakan orang-orang Cina tersebut. Karena keberhasilannya itu, Adipati Cakraningrat IV menyarankan agar Pakubuwana II dibuang. Namun, saran itu ditolak VOC. Mengingat Pakubuwana II masih bisa dimanfaatkan.
Dikarenakan istana Kasunanan Kartasura sudah hancur, Pakubuwana II memindahkan pusat pemerintahannya di Desa Sala pada tahun 1743 M. Sekalipun sudah terbangun, namun istana tersebut baru ditempati sebagai pusat pemerintahan oleh Pakubuwana II pada tahun 1745 M. Akibat perpindahan pusat pemerintahan tersebut, Kasunanan Kartasura berubah nama menjadi Kasunanan Surakarta. Dengan demikian, Pakubuwana II merupakan raja terakhir Kasunanan Kartasura (1726-1742 M) dan raja pertama Kasunanan Surakarta semenjak tahun 1745 M. Selain itu, Pakubuwana II pernah menjabat sebagai raja tanpa istana selama 3 tahun.
Sekalipun pemberontakan orang-orang Cina telah berhasil diporak-porandakan oleh Cakraningrat IV dan VOC, namun salah seorang pendukungnya masih bersikukuh sebagai anti-VOC. Dialah Raden Mas Said yang menguasai Tanah Sokawati. Melihat hal tersebut, Pakubuwana II membuka sayembara. Kepada siapa saja yang dapat merebut Tanah Sokawati dari tangan Raden Mas Said akan mendapatkan hadiah tanah 3.000 cacah.
Tidak seorang pun rakyat di Kasunanan Surakarta bernyali untuk mengikuti sayembara merebut Tanah Sokawati dari kekuasaaan Raden Mas Said dengan hadiah tanah 3.000 cacah, selain Raden Mas Sujana. Berkat kesaktiannya, Raden Mas Sujana berhasil merebut Tanah Sokawati dari tangan Raden Mas Said (1746 M).
Kebahagiaan Raden Mas Sujana yang berhasil merebut Tanah Sokawati dari tangan Raden Mas Said ternyata berbuntut pada kekecewaan. Dikarenakan berkat anjuran Patih Pringgalaya dan Baron van Inhoff (Gubernur Jendral VOC), Pakubuwana II urung menghadiahkan tanah 3.000 cacah kepada Raden Mas Sujana. Dikarenakan pula, Pakubuwana II yang kemudian menyewakan tanah di daerah pesisir kepada VOC dengan harga 20.000 real per tahun itu semakin membuat Raden Mas Sujana sakit hati. Akibatnya, Raden Mas Sujana yang meninggalkan Kasunanan Surakarta itu segera menggabungkan diri dengan gerakan Raden Mas Said pada bulan Mei 1746 M. Sebagai ikatannya, Raden Mas Sujana menikahkan Raden Mas Said dengan adik kandungnya, yakni Rara Inten (Gusti Ratu Bendara).
Hubungan antara Raden Mas Sujana dan Raden Mas Said semakin lama semakin kental. Sesudah pasukan yang mereka galang dan tempa telah mencapai ketangguhannya, pemberontakan terhadap kekuasaan Pakubuwana II tidak dapat dihindari. Pecahlah kemudian Perang Suksesi Jawa III antara Raden Mas Sujana + Raden Mas Said versus Pakubuwana II + VOC sejak tahun 1747 M.
Baru 2 tahun Perang Suksesi Jawa III berlangsung, Pakubuwana II jatuh sakit. Tepatnya pada tanggal 11 Desember 1749 M, Pakubuwana II yang sakitnya semakin parah itu menyerahkan sepenuhnya pada Baron van Hohendorf sebagai saksi atas pergantinan raja. Selain itu, Pakubuwana II menandatangani surat perjanjian atas penyerahan kedaulatan kerajaan secara utuh pada VOC. Sejak itulah titik awal hilangnya kedaulatan Kasunanan Surakarta di tangan Belanda. Pengertian lain, hanya VOC yang memiliki hak penuh atas pelantikan raja-raja keturunan Mataram. Peraturan ini berlaku sampai zaman kemerdekaan Indonesia.
Pada tanggal 20 Desember 1749 M, Pakubuwana II mangkat. Sebagai penggantinya, VOC melantik Raden Mas Suryadi sebagai raja di Kasunanan Surakarta dengan gelar Sri Susuhunan Pakubuwana III. Pelantikan Raden Mas Suryadi sebagai raja merupakan hak pertama VOC sejak memangku kedaulatan kerajaan secara utuh.
Di awal pemerintahan Pakubuwana III yang mendapatkan dukungan penuh dari VOC masih melanjutkan Perang Suksesi Jawa III dengan Raden Mas Sujana + Raden Mas Said. Sekalipun pasukan gabungan Raden Mas Sujana + Raden Mas Said itu semakin kokoh dan solid, namun belum mampu menurunkan Pakubuwana III dari takhta kekuasaannya sebagai raja di Kasunanan Surakarta.
Pada tahun 1752 M, terjadilah perpecahan antara VOC dan Pakubuwana III. Akibat perpecahan itu, VOC sering mengadakan pertemuan dengan Raden Mas Sujana untuk melakukan perundingan yang berakhir pada Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 M. Isi Perjanjian Giyanti adalah pengakuan VOC atas kedaulatan Raden Mas Sujana (Pangeran Mangkubumi/Hamengkubawana I) sebagai raja keturunan Mataram yang menguasai separoh wilayah kekuasaan Pakubuwana III. Berdasarkan pada Perjanjian Giyanti tersebut, Raden Mas Sujana mendirikan kerajaan baru di Hutan Pabringan yang kemudian dikenal dengan nama Kasultanan Yogyakarta pada tahun 1755 M.
Akibat dari Perjanjian Giyanti, Raden Mas Said secara otomatis menjadi musuh Pakubuwana III, Hamengkubawana I, dan VOC. Karena semakin lama semakin terdesak, Raden Mas Said mulai bersedia untuk melakukan perundingan dengan VOC. Hasil dari perundingan demi perundingan tersebut kemudian lahirlah Perjanjian Salatiga pada tahun 1757 M. Dari hasil Perjanjian Salatiga, Raden Mas Said yang telah menyatakan kesetiaannya pada Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, dan VOC tersebut mendapatkan daerah kekuasaan Mangkunegaran (di bawah tlatah Kasunanan Surakarta). Sesudah dinobatkan sebagai raja di Praja Mangkunegaran, Raden Mas Said yang dikenal dengan Pangeran Samber Nyawa tersebut mendapatkan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati (KGPA) Arya Mangkunegara (Mangkunegara I). [Sri Wintala Achmad]
- Putra Pangeran Puger (Pakubuwana I) yang lahir dari selir.
- Adik Adipati Jangrana dari Surabaya.
- Adik Jaya Puspita.
- Putra Raden Mas Suryaputra yang lahir dari permaisuri (keturunan Sunan Kudus).
- Kakak Raden Mas Prabasuyasa dari lain ibu.