Emo : “Peradaban” Yang Hilang

Muhammad Zaki

Emo : "Peradaban" Yang Hilang

Akhir-akhir ini saya lagi senang mendengarkan lagu-lagu tahun 2000an, seperti From First To Last, The Used, My Chemical Romance, Saosin, dll. Walau kini Emo telah ditinggalkan oleh orang kebanyakan, tapi bagi saya lagu Emo masih cukup sering saya dengarkan dan masuk ke playlist Sportify saya. Lirik yang begitu dalam, dibarengi dengan musik yang berdistorsi namun dengan konteks “sedih” dan penyesalan.

“Apasih Emo itu?”

Mungkin, remaja-remaja saat ini jika ditanyakan soal Emo, hanya bisa geleng-geleng kepala. Mereka tidak tahu apa-apa soal Emo. Karena saat mereka beranjak remaja, fase ini sudah terlewati. Tapi buat kita yang beranjak remaja di pertengahan tahun 2000an, pasti sudah paham betul soal Emo ini yang sempat mewarnai masa remaja kita. Poni miring, dengan rambut gondrong yang dicatok, bedak tipis dan eyeliner yang tebal, jeans ketat dan pakaian serba hitam adalah salah satu ciri dari Anak Emo (biasa disebut Emo Kids).

Emo : "Peradaban" Yang Hilang
Sekumpulan Anak Emo. Sumber : Fb Emo Style Indonesia

Sebenarnya apa itu Emo?

Emo atau Emotional Hardcore adalah salah satu genre musik turunan dari Post-Hardcore dengan ciri khas musik yang banyak memakai melodi gitar, teknik vokal scream dan menggunakan lirik dengan emosi yang meluap-luap dan berisi pengakuan. Umumnya, lagu-lagu Emo berisikan tentang patah hati, kegagalan cinta, beserta permasalahan hidup lainnya yang umumnya soal percintaan atau hubungan dengan sosial yang gagal.

Genre ini awalnya dipopulerkan oleh Rites of Spring pada pertengahan 1980an sebagai bentuk protes dari meningkatnya kekerasan di komunitas Hardcore Punk pada saat itu. Rites of Spring berusaha keluar dari batasan-batasan musik Hardcore Punk dan mulai membuat sebuah musik baru dengan menggunakan banyak melodi gitar, serta lirik yang berisi luapan emosi pribadi.

Namun, musik Emo memperoleh puncak ketenarannya saat awal tahun 2000an dengan bermunculan band-band Emo baru, seperti Taking Back Sunday, The Used, My Chemical Romance, From First To Last, Saosin, serta masih banyak lagi.

Lagu-lagu seperti Ride The Wings of Pestilence, Seven Years, Helena, The Taste of Ink jadi “Emo Anthem” yang wajib didengarkan oleh anak Emo. Bagai jamur di musim hujan, musik Emo menyebar ke seluruh dunia dengan cepat. Seiring dengan populernya situs jejaring sosial My Space, sebagai bahan tunggangan si musik Emo ini untuk masuk ke negara lain, termasuk Indonesia

Emo : "Peradaban" Yang Hilang
Killing Me Inside (2007) Dari kiri ke kanan : Raka (Gitar), Onad (Bass), Sansan (Vokal), Josaphat (Gitar), Rendy (Drum) Sumber : Hai Magazine

Di Indonesia, musik Emo dipopulerkan oleh band-band seperti Killing Me Inside, Alone At Last, The Sideproject, Killed By Butterfly, serta masih banyak lagi. Gigs-gigs lokal banyak bermunculan seiring mewabahnya musik Emo di tanah air. Musik Emo sangat digandrungi oleh remaja pada saat itu karena kebanyakan dari lagu-lagu Emo sangat mewakili perasaan mereka.

Namun, seiring berjalannya waktu, trend musik Emo baik di dunia maupun di Indonesia mulai redup. Musik Emo pun sempat mati karena selera pasar musik yang berubah juga. Menurut sumber yang saya baca, fase musik Emo itu sendiri pun terhitung dari tahun 2003 sampai 2008, setelah lewat dari tahun itu, trend musik Emo mulai redup. Tak banyak band-band yang bertahan di skena musik Emo, karena permintaan pasar musik yang berubah.

Jika menilik waktu setahun kebelakang, tepatnya tahun 2019, dunia musik Emo dibuat gempar dengan kabar reuni My Chemical Romance, salah satu band Emo yang terkenal dengan lagu Helena, I’m Not Okay, dan Famous Last Word. Mereka memutuskan reuni setelah 6 tahun sempat Hiatus pada tahun 2013 lalu.

Kabar reuni mereka pun menjadi penguat kembalinya musik Emo, setelah sebelumnya pada tahun 2017, mantan vokalis From First To Last, Sonny Moore (atau lebih dikenal dengan nama panggung Skrillex), memutuskan kembali ke band lamanya, setelah 10 tahun hengkang dan memilih solo karir sebagai DJ, pada tahun 2007. Untuk menandai kembalinya Sonny, From First To Last merilis single dengan judul “Make War”.

Emo : "Peradaban" Yang Hilang
My Chemical Romance (2005) Dari kiri ke kanan : Ray Toro (Gitar), Mikey Way (Bass), Gerard Way (Vokal), Frank Lero (Gitar), Bob Bryar (Drum) Sumber : Cultura Magazine

Kembalinya My Chemical Romance dan From First To Last ke ranah musik Emo, seakan menebar aura positif ke dalam dunia musik Emo. Terbukti antusiasme anak Emo yang ingin bernostalgia sangatlah besar. Pada tahun itu, banyak digelar acara Emo Nite, yaitu acara malam khusus musik Emo, yang dikhususkan untuk mereka yang ingin bernostalgia dengan musik Emo. Kabar kembalinya My Chemical Romance pun sampai ke Indonesia.

Seakan tak mau kalah dengan MCR, para mantan anggota Killing Me Inside yaitu Sansan (Pee Wee Gaskins), Raka (Vierra) dan Onad, memutuskan untuk reuni kembali setelah sudah lama tak ngeband bareng.

Hal itu ditegaskan dalam penampilan mereka dengan nama Killing Me Reunion di acara musik tahunan Sychronize Fest pada 2019 lalu. Kembalinya mereka di panggung yang sama, sedikit mengobati rasa rindu fans lama akan formasi Killing Me Inside yang lama.

Menarik untuk diikuti, apakah musik Emo ini akan bangkit kembali seperti dulu? Namun sayangnya tahun ini tengah terjadi pandemi. Jika tidak, mungkin akan lebih banyak festival musik yang menghadirkan band-band Emo lama.

Kini, Emo hanyalah tinggal kenangan. Tak ada  lagi rambut dengan poni lempar dengan rambut gondrong yang dicatok, bedak tipis denga eyeliner tebal, jeans ketat dan pakaian serba hitam. Musik Emo mulai ditinggalkan oleh sebagian orang dan tergantikan oleh musik-musik Pop kekinian.

Follow Digstraksi di Google News

Baca Juga

Rekomendasi