ATM (Amati, Tiru, Modifikasi) adalah suatu metode yang cukup banyak dibicarakan dalam bidang industri kreatif seperti contohnya musik dan film. Maksud utama dari ATM adalah memerangi dan menghindari plagiarisme dengan melakukan perubahan-perubahan terhadap suatu hal ketimbang menjiplak secara utuh suatu hal. Selain itu, metode ATM ini ternyata juga dilakukan oleh perusahaan-perusahaan media sosial yang cukup besar.
Seperti yang kita tahu, belakangan ini media sosial diisi dengan salah satu berita mengenai fitur baru di Instagram yang menjadi pembicaraan banyak pengguna Instagram, pengguna TikTok, bahkan kemungkinan besar juga dibicarakan di kantor TikTok.
Fitur Instagram ini dianggap versi “tiruan” dari TikTok dan diberi nama sebagai Instagram Reels. Tanggapan pengguna media sosial cukup beragam. Ada beberapa dari mereka yang merasa Instagram seperti mencuri fitur yang bisa dibilang 90% mirip dengan TikTok, kemudian ada juga yang merasa bahwa mereka merasa tidak apa-apa dengan kemunculan fitur itu, bahkan mereka juga merasa akan menjadi lebih praktis ketika satu aplikasi Instagram sudah sepaket dengan fitur TikTok. Lalu kemudian yang dilupakan orang-orang adalah: hal ini bukanlah yang pertama kalinya dilakukan oleh Instagram.
Misalnya adalah fitur Instagram Stories yang diluncurkan di saat Snapchat masih berdiri tegak di Indonesia. Fitur ini tentu mengundang reaksi yang hampir sama dengan kasus IG Reels. Beberapa orang juga ada yang mempertanyakan mengenai eksistensi Snapchat yang kemungkinan terancam, meskipun kenyataannya sepertinya Snapchat masih diminati di negara-negara lain.
Selanjutnya juga ada fitur IGTV yang dinilai publik sebagai solusi Instagram untuk mengatasi Youtube yang dinilai lebih baik dalam konten video karena tidak ada batasan durasi. Fitur ini ternyata kemudian tidak terlalu bisa mengalahkan posisi Youtube sebagai penyedia konten berformat video bagi publik yang diterima dan dinikmati secara luas.
Kabarnya juga, Instagram juga dinilai mengambil fitur Instagram Live (IG Live) dari aplikasi bernama Periscope yang berdiri sekitar tahun 2015 di mana saat itu konten live streaming belum diminati oleh kalangan luas seperti sekarang.
Namun sebelum kita menghakimi Instagram yang kesannya “menjiplak” kompetitornya dan berusaha ingin menjadikan aplikasinya sebagai aplikasi “paketan”, kita perlu melihat ke belakang sedikit dan mengintip fenomena aplikasi Clubhouse yang viral di lintas platform. Saat itu, orang-orang menilai bahwa Clubhouse adalah aplikasi yang eksklusif karena hanya dihadirkan di platform tertentu yakni di device Apple dan hanya bisa digunakan dengan sistem invitation.
Namun kemudian situasi berbalik ketika sepertinya Clubhouse sudah mulai sepi dan ditinggali penggunanya yang semula cukup antusias. Namun, ternyata Twitter diam-diam mempersiapkan fitur pesaing Clubhouse dan menamainya dengan Twitter Space. Formatnya sama (group diskusi audio) dan tidak ada perbedaan signifikan. Namun sayangnya trend group audio tersebut sepertinya sudah berlalu.
Di sisi lain, ada pula Spotify yang diam-diam mengeluarkan aplikasinya yakni “Green Room” yang memiliki format mirip juga dengan Clubhouse dan Twitter Space. Namun, sepertinya aplikasi tersebut belum menjadi hype di Indonesia dan belum dibicarakan banyak orang.
Jadi, sebetulnya metode ATM ini atau mungkin “menjiplak kasar” yang dilakukan perusahaan-perusahaan yang bersaing sepertinya sudah mulai menjadi hal yang cukup lumrah. Petinggi-petinggi perusahaan media sosial tersebut sebetulnya tinggal duduk santai dan membiarkan publik memilih: fitur hasil ATM yang ia terbitkan atau yang sebelumnya sudah ada.